E-Commerce China Ditendang, Setelah sebelumnya ditolak masuk ke Indonesia, kini Shein peritel fesyen cepat asal China, – terbukti melakukan praktik penipuan terhadap konsumen dan didenda oleh otoritas Prancis. Badan antimonopoli Prancis menjatuhkan denda sebesar 40 juta euro (sekitar Rp 767 miliar) Shein atas dugaan praktik bisnis menyesatkan, termasuk pemberian diskon palsu. Putusan ini diumumkan pada Kamis (4/7/2025), setelah penyelidikan yang berlangsung hampir satu tahun. 
E-Commerce China Ditendang dari RI, Dituduh Tipu Konsumen di Prancis– Shein dan Temu menjual barang langsung dari produsen di China ke konsumen akhir, tanpa ada perantara. Hal ini membuat harga jualnya sangat murah dan tidak membuka ruang kompetisi yang sehat dengan produsen lokal. Di negara lain, Temu dan Shein mendulang popularitas karena barang yang ditawarkan jauh di bawah harga pasar. Kendati demikian, eksistensi Temu dan Shein terancam tumbang gara-gara kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump.
Industri e-commerce global kembali diguncang dengan kabar mengejutkan: beberapa platform e-commerce asal China terancam dilarang beroperasi di Indonesia. Selain itu, mereka juga tengah menghadapi tuduhan serius di Prancis terkait praktik penipuan terhadap konsumen. Kasus ini menjadi sorotan internasional, sekaligus membuka diskusi luas tentang keamanan konsumen dan regulasi perdagangan digital lintas negara.
Latar Belakang: E-Commerce China Kuasai Pasar Global
Dalam beberapa tahun terakhir, platform e-commerce asal China seperti Shein, Temu, dan AliExpress berhasil menembus berbagai pasar global, termasuk Indonesia. Dikenal menawarkan harga super murah, variasi produk yang melimpah, serta strategi pemasaran agresif, platform-platform ini dengan cepat menjadi pilihan favorit masyarakat.
Di Indonesia, pertumbuhan e-commerce China sangat pesat, terutama di segmen fesyen, elektronik, dan aksesoris rumah tangga. Menurut data Statista tahun 2024, transaksi e-commerce lintas negara (cross-border e-commerce) dari China ke Indonesia tumbuh sekitar 25% per tahun, dengan nilai transaksi mencapai Rp45 triliun pada 2023.
Namun, di balik kesuksesan tersebut, banyak pihak menilai ada dampak negatif yang ditimbulkan, mulai dari persaingan usaha tidak sehat hingga dugaan manipulasi harga dan kualitas produk yang diragukan.
Pemerintah RI Bertindak: Regulasi Baru dan Penertiban
Menanggapi keluhan para pelaku usaha lokal dan desakan publik, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akhirnya mengambil langkah tegas. Salah satu kebijakan yang baru saja diumumkan adalah pembatasan penjualan barang impor murah melalui platform e-commerce.
Menteri Perdagangan menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri yang tertekan akibat banjir produk impor murah. Selain itu, konsumen di Indonesia juga diharapkan bisa mendapatkan produk dengan kualitas yang lebih terjamin.
“Produk impor murah banyak menimbulkan kerugian bagi UMKM lokal dan juga merugikan konsumen karena tidak ada jaminan keamanan dan keaslian produk,” tegas Menteri Perdagangan dalam konferensi pers di Jakarta.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan memperketat izin masuk barang impor, menambah pengawasan kualitas, serta mewajibkan platform e-commerce asing untuk mematuhi peraturan pajak dan sertifikasi keamanan produk.
Tuduhan Penipuan di Prancis: Produk Palsu dan Klaim Menyesatkan
Selain di Indonesia, sejumlah platform e-commerce China juga sedang menghadapi masalah hukum di Prancis. Pada awal 2025, otoritas perlindungan konsumen Prancis, Direction générale de la concurrence, de la consommation et de la répression des fraudes (DGCCRF), mengumumkan hasil penyelidikan terhadap beberapa platform e-commerce besar asal China.
Hasilnya cukup mengejutkan: sekitar 60% produk yang dijual di platform tersebut tidak memenuhi standar keselamatan Eropa. Bahkan, banyak di antaranya yang memuat label dan klaim palsu mengenai keamanan dan kualitas.
Contoh kasus yang mencuat adalah penjualan mainan anak-anak yang mengandung bahan kimia berbahaya, serta kosmetik yang tidak memiliki izin edar resmi di Eropa. Akibatnya, pemerintah Prancis mendenda beberapa perusahaan tersebut hingga jutaan euro dan memerintahkan penarikan produk dari pasar.
Reaksi Konsumen: Dari Murka hingga Kehilangan Kepercayaan
Di Prancis, kemarahan konsumen memuncak setelah laporan tersebut dirilis. Banyak pelanggan yang merasa tertipu karena tergiur harga murah dan klaim kualitas premium. Beberapa di antaranya bahkan melaporkan masalah kesehatan akibat penggunaan produk kecantikan yang tidak aman.
Fenomena ini memicu gerakan boikot di media sosial dengan tagar #StopFakeGoods dan #BoycottCheapChina, yang viral di Prancis dan sebagian Eropa.
Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada laporan resmi mengenai dampak kesehatan, banyak keluhan tentang produk tidak sesuai deskripsi, pengiriman lama, serta layanan purna jual yang buruk. Beberapa konsumen juga mengeluhkan sulitnya mengajukan refund atau komplain.
Imbas Ekonomi dan Peluang UMKM Lokal
Larangan dan pembatasan ini membuka peluang besar bagi UMKM Indonesia untuk kembali bangkit. Banyak produk lokal sebenarnya memiliki kualitas yang tidak kalah, namun selama ini kalah bersaing karena harga dan promosi agresif dari platform luar negeri.
Menurut Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), pembatasan ini bisa meningkatkan penjualan produk lokal hingga 30% dalam dua tahun ke depan. Industri fesyen, kerajinan tangan, dan makanan-minuman lokal diperkirakan akan menjadi sektor yang paling diuntungkan.
Selain itu, pemerintah juga mendorong digitalisasi UMKM agar bisa memanfaatkan momentum ini. Program pelatihan e-commerce, bantuan modal, serta fasilitas logistik terus diperluas agar produk dalam negeri mampu memenuhi permintaan pasar yang lebih besar.
Bagaimana Nasib Platform E-Commerce China?
Meski menghadapi tekanan di Indonesia dan Eropa, platform e-commerce China masih memiliki basis pengguna yang sangat besar di Amerika Serikat, Timur Tengah, dan beberapa negara Asia lainnya. Namun, para pakar memprediksi tren regulasi ketat akan meluas, seiring meningkatnya kesadaran konsumen tentang kualitas dan keamanan produk.
Untuk mempertahankan pasar, beberapa platform mulai mengubah strategi dengan membuka gudang lokal, meningkatkan standar kualitas, serta memperketat kontrol produk sebelum dikirim ke konsumen.
Di sisi lain, mereka juga menggandeng influencer lokal untuk memperbaiki citra, serta menyesuaikan kampanye pemasaran. Hal ini dilakukan agar lebih ramah terhadap budaya dan preferensi pasar masing-masing negara.
Tantangan ke Depan: Perang Harga atau Perang Kualitas?
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah konsumen lebih memilih harga murah atau kualitas terjamin?
Dalam survei Nielsen pada 2024 di Asia Tenggara, 68% responden menyatakan harga masih menjadi faktor. Hal ini menjadi utama dalam belanja online, namun 54% juga mulai memprioritaskan kualitas dan keamanan. Ini menunjukkan adanya pergeseran pola konsumsi yang bisa dimanfaatkan oleh produsen lokal untuk memperkuat brand mereka.
Selain itu, konsumen kini semakin cerdas dan kritis dalam memilih produk. Banyak yang memeriksa label, membaca ulasan, dan membandingkan sertifikasi keamanan sebelum membeli.
Kesimpulan
Kasus e-commerce China yang ditendang dari Indonesia dan dituduh menipu di Prancis. Hal ini menjadi peringatan bagi pelaku bisnis digital di seluruh dunia. Perlindungan konsumen, kejujuran dalam klaim produk, dan kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci utama agar dapat bersaing secara berkelanjutan.
https://takingnotespodcast.com/
https://autopilotmagazine.com/
Tags: E-Commerce China Ditendang